Senin, 01 Oktober 2012

No Other / episode 4


Pagi ini cerah. Jieun sedang sibuk di dapur, membuat sup kimchi untuk sarapan pagi. Sungmin membersihkan rumput di halaman depan. Setelah pulang dari wajib militer, dia memilih pekerjaan sebagai translator di sebuah penerbitan. Sungmin dulu kuliah di jurusan Yeongmunhak, English Language and Literature, sedangkan Yunho di jurusan Hukum. Berbeda dengan Yunho yang memilih mencari pekerjaan setelah lulus kuliah, Sungmin justru langsung memenuhi kewajibannya untuk wajib militer. Itulah kenapa Changmin sering berada di rumah itu, untuk menjaga Jieun. Apalagi saat itu hubungan Yunho dan Sungmin memburuk karena masalah Aeri, dan Yunho memutuskan untuk meninggalkan rumah dan mencari pekerjaan. Sungmin tahu persis hubungan Changmin dengan keluarga Jung yang lain, sehingga dia meminta Changmin untuk menjaga Jieun selama dia mengikuti wajib militer. Sungmin berangkat tepat setelah Jieun masuk SMA.
"Hyung, annyeong haseyo! Cerah sekali hari ini sepertinya," Changmin tiba-tiba muncul di pintu pagar. Sungmin mendongak dan tersenyum.
"Pekerjaanku baru saja selesai kemarin. Hari ini jadwalnya terima honor."
"Aigoo, pantas saja wajah hyung cerah ceria seperti itu." Changmin menghampiri Sungmin, berjongkok di sebelahnya dan ikut menyiangi rumput.
"Kau sendiri, wajahmu cerah begitu. Dahaengiya?"
"Aku lulus pendadaran kemarin hyung. Hari ini aku akan mengurus wisuda."
"Jinjja?? Cukhahaeyo, Changmin-a! Ya, kita harus merayakan ini! Jieun-a! Jieun-a!" Sungmin berdiri dan berseru pada adiknya di dalam.
"Aissh, oppa ini berisik saja pagi-pagi! Ada apa??" Jieun keluar dari rumah dengan tergesa. Dia sedikit salah tingkah melihat Changmin di sana.
"Dengar, oppamu ini sudah lulus kuliah! Lulus! Ayo beri selamat!"
"Woa, cukhahamnida, Changmin oppa! Daebak! Aissh, aku juga ingin cepat lulus!" Jieun sejenak lupa akan perasaan aneh diantara mereka berdua dan menghampiri Changmin dengan gembira. Changmin tersenyum lebar. Keluarga Lee memang orang-orang yang baik.
"Ayo kita sarapan oppa, untuk merayakan kelulusan Changmin oppa. Aku tadi memasak samgyetang," Jieun dengan bersemangat mengajak oppadeulnya sarapan. Mereka bertiga masuk ke dalam rumah.
-----------
Yunho memandang keluar jendela pesawat. Di sampingnya, Aeri memandang Yunho dengan perasaan campuraduk.
"Oppa, bagaimana kita menghadapi Sooyeon ssi nanti?" tanya Aeri.
"Ini hidupku, Aeri-ya. Aku sudah dewasa. aku punya pekerjaan, bukan lagi seseorang yang bergantung pada orangtua."
"Dimana oppa bekerja? Ceritalah apa yang telah oppa alami selama dua tahun ini. Kita memiliki lubang besar yang harus diisi sedikit demi sedikit."
"Kau dulu, ceritalah."
"Aku ke Jeju begitu lulus dari kedokteran. Aku bahkan belum mengambil pendidikan profesiku. Han Seungho adalah adik ayahku. Kau pasti tidak percaya kalau aku bilang aku lulus dengan susah payah, oppa. Nilaiku tidak begitu tinggi. Ayahku sedih melihatku seperti itu, sehingga beliau memutuskan untuk mengirimku ke Jeju untuk menenangkan diri. Awalnya aku masih suka menangis dan melamun, sampai Seungho samchon mengajakku ke CCC. Aku melihat orang-orang tua yang menjalani hidup dengan penuh semangat meski tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Aku sangat malu pada diriku sendiri, dan aku memutuskan untuk membantu mereka menjalani kehidupan dengan kekuatan yang masih kumiliki."
Yunho memandang kekasihnya itu dengan penuh kasih, dan merasa bersalah. Dia mengelus rambut Aeri pelan.
"Jeongmal mianhaeyo, Aeri-ya. Sampai di Seoul, kamu harus mengambil pendidikan profesimu, ara? Kita akan menjadi pasangan advokat dan dokter yang hebat."
"Bagaimana dengan oppa? Apa yang terjadi selama dua tahun ini?"
"Setelah lulus, aku mencari pekerjaan. Aku diterima di firma hukum Han, tapi aku harus mengikuti training di Busan selama 1,5 tahun. Aku mulai bekerja di firma hukum Han cabang Seoul dua bulan yang lalu."
"Firma hukum Han? Jinjja? Itu firma hukum yang sangat terkenal kan?"
"Aku juga sangat bersyukur bisa diterima di sana. Aku sudah menerima gaji satu kali, dan semuanya kugunakan untuk pergi ke Jeju menjemputmu."
Wajah Aeri memerah. Dia memukul lengan Yunho.
"Tidak ada yang menyuruhmu menjemputku kan? Kerja saja sana terus, nappeuneum!"
"Aigoo, kamu pintar memaki sekarang. Apa kakek-kakek itu mengajarimu memaki?"
"Shikkeuro! Jinjja. Lalu bagaimana dengan Sungmin? Oppa sudah berbaikan dengannya kan?"
Yunho menggeleng. Aeri memandang Yunho tajam.
"Wae? Sungmin tidak bersalah kan?"
"Aku malu menyapanya. Sudah dua tahun kami tidak kontak, Aeri-ya."
"Pulang nanti, kita akan langsung ke rumah Sungmin." putus Aeri, sepihak. Dia tidak peduli pada Yunho yang memandangnya memelas, malah memalingkan wajah dan memejamkan mata. Yunho memandang keluar jendela lagi, menghela nafas panjang.
-----------
Shim Sooyoung sedang menyirami kebun bunga di halaman samping rumah rehabilitasi jiwa. Dia terlihat segar, sama sekali tidak terlihat kalau 13 tahun yang lalu dia masuk ke tempat ini sebagai pasien. Sejak lima tahun yang lalu, Sooyoung berubah status menjadi volunteer. Dia membantu pekerjaan petugas di sana dan tinggal di sana, mendapatkan jatah makan dan sedikit uang bulanan. Sooyoung menolak untuk tinggal bersama keluarga Jung. Changmin berkali-kali mengajak ibunya itu untuk menyewa rumah, tapi Sooyoung menolak. Dia ingin Changmin hidup layak, setidaknya sampai lulus kuliah. Dia tidak ingin Changmin putus sekolah dan hanya bekerja untuknya, padahal sebenarnya Changmin telah bekerja sambilan sejak masuk SMA. Changmin bekerja di sebuah rumah makan sebagai tukang cuci piring. Dia bekerja dari jam 3 sore sampai jam 9 malam. Tidak ada yang tahu tentang hal ini. Changmin juga memiliki bisnis online bersama Im Kyungsoo, sahabatnya, menjual desain. Desain web, kaos, apapun, sesuai order dari pelanggan.
"Eomeoni," sapa Changmin pelan. Sooyoung menoleh, melihat Changmin berdiri sambil tersenyum-senyum.
"Wae? Mwoya? Dahaengiya?" Sooyoung sangat pandai membaca wajah putranya. Changmin mengangguk.
"Aku lulus, Eomeoni! Luluuus! Lihat lihat, nilaiku cumlaude!" kata Changmin sambil menunjukkan surat keterangan pada ibunya. Wajah Sooyoung berubah cerah, dia memeluk putranya itu.
"Aaa, cukhahae, Changmin-a. Aigoo, uri Changmin daebak! Daebak!" Sooyoung mencium pipi Changmin dengan sayang. Changmin tertawa bahagia.
"Minggu depan, eomoni harus datang di wisudaku ya! Kita perlu membeli hanbok baru untuk eomeoni."
"Tentu saja. Siapa lagi yang akan kau undang?"
"Yunho hyung, Sungmin hyung, Jieun...."
"Samchon? Imo? Soojung?"
"Untuk apa? Untuk mengacau lagi?" kata Changmin pedas. Sooyoung memandang putranya dengan prihatin.
"Sudahlah Changmin, bagaimanapun mereka telah merawatmu selama ini. Hargailah mereka."
"Eomeoni tidak usah menyuruhku berbuat baik. Eomeoni sendiri memilih tinggal di sini karena tidak mau berhubungan dengan mereka kan?"
"Geumanhae. Eomeoni cuma tidak ingin merepotkan pamanmu lebih lagi. Kau yang tinggal bersama mereka seharusnya...."
"Mereka tidak pernah merawatku, eomeoni. Tidak sekalipun. Sooyeon ssi selalu mengungkit-ungkit apa yang telah mereka berikan pada kita. Aku tidak tahan lagi. Eomeoni, secepatnya, kita akan pindah ke tempat baru, eo? Kita akan tinggal berdua, aku akan bekerja, dan eomeoni akan beristirahat dengan nyaman di rumah. Ne? Ne?"
"Darimana kita punya uang untuk menyewa tempat tinggal? Eomeoni cuma punya sedikit uang dari hasil membantu di sini."
"Aku punya, eomeoni. Setidaknya untuk tahun pertama. Aku telah memakai sebagian uangku untuk membayar hutang pada keluarga Jung."
"Hutang?? Hutang apa?"
"Semua biaya yang telah dikeluarkan keluarga Jung untuk membiayai kita."
"Biaya...astaga kau keterlaluan sekali! Bagaimana bisa...."
"Jung Sooyeon selalu mengungkit itu di depanku. Mana bisa aku hidup tenang, eomeoni? Aku muak mendengarnya!" mata Changmin berkaca-kaca. Sooyoung memandang putranya dengan sayang, lalu mengembangkan lengannya. Changmin ragu sejenak, tapi akhirnya dia tersuruk di pelukan ibunya.
"Putraku, putraku sayang, kamu banyak menderita... Maafkan eomeoni yang tidak bisa menanggungnya bersamamu..." Sooyoung mengelus rambut Changmin. Setitik airmata jatuh di pipi Changmin. Pemuda itu merasakan betapa kurus ibunya itu.
"Aku akan selalu melindungi eomeoni, menjaga eomeoni dan merawat eomeoni. Bagaimana kalau besok kita melihat calon rumah kita?" kata Changmin setelah melepas pelukan ibunya. Sooyoung mengangguk dan tersenyum.
"Gomo, annyeong haseyo!" Yunho tiba-tiba muncul, bersama Aeri.
"Hyung! Noona!" kata Changmin terkejut. Sooyoung membelalakkan mata, tapi segera mengembangkan lengannya begitu Yunho menghampirinya."Uri Yunho, bogosipeo...." bisik Sooyoung. Yunho memeluk erat gomo-nya itu."Nado, gomo... Nado bogosipeoyo..."
Changmin dan Aeri memandang mereka berdua dengan haru. Changmin segera mengalihkan pandangan pada Aeri, menanyakan kabarnya.
"Kami akan ke tempat Sungmin. Dua sahabat baik yang terlalu laa bertengkar bukan sesuatu yang baik kan?" kata Aeri. Yunho meliriknya. Lalu kembali memandang Sooyoung."Bagaimana kabar gomo? Aku baru saja pulang dari Jeju untuk menjemput Aeri."
"Jinjja? Jadi kalian sudah berbaikan? Dahaeingida... Haengbokhae?" mata Sooyoung berbinar."Neomu haengbokhaeyo, gomo. Kami...kami akan segera merencanakan pernikahan." kata Yunho."Jinjja, hyung? Bagaimana...dengan woesamchon dan imo?" sela Changmin. Wajahnya khawatir.
"Aku sudah bekerja. Aku tidak ingin Aeri pergi lagi dariku. Apa gomo dan Changmin mau mendukungku?" pinta Yunho penuh harap. Changmin dan ibunya berpandangan. Jelas sekali, mereka khawatir."Bisakah hal ini dibicarakan lebih baik? Kalian tidak akan menikah besok kan?" tanya Sooyoung, sedikit mencairkan suasana tegang."Tidak, Sooyoung-ssi. Aku masih harus bertemu dengan orangtuaku. Dan oppa juga ngotot untuk menyuruhku mendaftar kuliah profesi tahun ini. Mungkin kami...akan mempersiapkan pernikahan kami dengan matang untuk 6 bulan lagi." jelas Aeri.
"Kalian sudah dewasa. Orangtua sepertiku hanya akan menjadi beban kalian saja. Apapun yang kalian pilih, ingatlah bahwa hal itu adalah pilihan kalian sendiri, jadi jangan pernah berpikir untuk berbalik dan melarikan diri ketika di tengah jalan terasa berat. Karena itu setiap pilihan yang kalian ambil harus dilihat segala sisi baik dan buruknya. Eomeoni, gomo, ajumma, hanya bisa mendukung dan mendoakan kalian..." kata Sooyoung lirih.
Yunho yang masih berada di samping gomonya itu segera memeluknya lagi, sedangkan Changmin ikut menghambur ke pelukan ibunya. Aeri memandang mereka bertiga dengan haru.
-----------
Sungmin membuka pintu rumahnya. Yunho berdiri di sana, bersama Aeri. Tanpa berkata apa-apa, dua sahabat itu segera berpelukan."Yunho-ya, bogoshipda..." bisik Sungmin. "Jeongmal mianhaeyo, Sungmin-a. Mianhae. Mianhae." balas Yunho. Sungmin menepuk-nepuk punggung sahabat lamanya itu.
"Gwaenchana. Selama kau bahagia, sahabatku..."
Aeri, lagi-lagi, hanya bisa memandang mereka dengan haru.
-----------
Tiga hari setelah kedatangan Yunho dari Jeju, Changmin mengemasi barang-barangnya di rumah keluarga Jung. Yunho memandangnya dari pintu kamar.
"Kau yakin?""Ne, hyung."
"Gomo akan kau jaga dengan baik kan?"
Changmin melihat Yunho dengan pandangan terganggu. Yunho tertawa.
"Uri dongsaeng, kau sudah besar sekali. Sudah lebih tinggi dariku. Kenapa kamu sekarang tidak menangis lagi? Menangislah. Kau akan berpisah denganku kan?"
"Hyung, apakah tinggal di kota yang sama bisa dikatakan berpisah? Yang benar saja!"
Saudara sepupu itu tertawa. Mereka tidak menyadari Soojung ada di belakang Yunho.
"Oppa..." kata Soojung pelan. Yunho menoleh, kaget.
"Ah, Soojung-a, ada apa?"
"Apa Changmin oppa akan pergi hari ini? Kenapa tidak berpamitan kepada kami?" wajah Soojung tampak sedih. Yunho memandang Changmin, lalu merangkul Soojung, adiknya semata wayang itu.
"Apa Soojung merasa pernah melakukan hal jahat pada Changmin oppa dan Sooyoung gomo?" tanya Yunho lembut. Soojung memandang oppanya itu, lalu mengangguk.
"Soojung sering membuat Changmin oppa dimarahi oleh eomma. Soojung tidak senang kalau Sooyoung-ssi tinggal di rumah kita, padahal Sooyoung-ssi tidak punya rumah, seperti Changmin oppa." kata Soojung takut-takut.
Hati Changmin sedikit tergetar, ternyata putri keluarga Jung ini masih memiliki nurani yang bersih. Ibunyalah yang mencontohkan banyak hal buruk padanya. Changmin menghampiri Soojung dan mengusap rambutnya.
"Jadilah anak yang baik, Soojung. Punya banyak teman, suka membantu, maka akan ada seorang namja baik yang menyukaimu. Arasseo?" kata Changmin lembut. Nada yang belum pernah didengar Soojung selama ini. Soojung mengangkat kepalanya, mengangguk dengan semangat pada Changmin."Arasseo, oppa. Sooojung akan jadi anak baik. Oppa tidak jadi pergi kan?" tanya Soojung penuh harap. Changmin menghela nafas, lalu masuk ke kamar untuk mengambil koper dan sebuah kardus. Dia sudah selesai berkemas. Barangnya memang sedikit.
"Oppa tetap akan pergi. Nanti oppa akan menghubungi kalian. Mainlah ke rumah hyung, Soojung. Eomeoni pasti senang." kata Changmin. Dia menepuk bahu Yunho dan kepala Soojung. Soojung mulai terisak. Yunho merangkul adiknya itu. Changmin tersenyum, lalu dia meninggalkan rumah keluarga Jung. Tanpa disadari oleh siapapun, Jung Sooman mendengarkan mereka bertiga. Airmatanya menitik."Mianhae, Sooyoung-a. Aku telah membuatmu dan putramu menderita. Mianhae, jeongmal mianhae...."
-----------
Jieun sedang menyiram tanaman di halaman. Dia membelakangi jalan, menyanyikan "Good Day" sambil menyiram rumpun bunga.
"Naneunyo, oppaga, joheungeol........" Jieun berbalik, dan dia melihat Changmin lewat sambil membawa koper dan kardus. Mata Jieun melotot.
"Eotteohke???? Oppa, Changmin oppa!" seru Jieun. Dia berlari ke keran, bergegas mematikan air, lalu menyusul Changmin. Sungmin yang sedang bekerja di ruang tamu, mengerjakan terjemahan, tersentak mendengar seruan Jieun dan suara langkahnya yang berlari.
"Jieun-a?"
Jieun berhasil mengejar Changmin. Dia menahan bagian belakang jaket Changmin. Changmin menoleh.
"Oppa, eodilkka? Pergi kemana?" tanyanya sambil terengah-engah.
"Aku sudah menyewa tempat untukku dan ibuku. Aku pindah hari ini, tapi eomeoni belum. Ah, aku masih akan ke tempatmu kok. Kalian harus datang di wisudaku minggu depan."
"Bukan itu masalahnya! Kau jahat sekali oppa, tidak berpamitan pada kami saat kau pergi dari rumah itu. Apa kami tidak berarti? Apa kami bukan siapa-siapa untuk oppa?""Jieun-a...."
"Miwo!! Changmin oppa nappeuneum!" Jieun tiba-tiba menangis. Changmin bingung, dia menurunkan kardus yang dibawanya.
"Eii, uljima! Aissh, wae, kenapa menangis, aigoo, uljima!" Changmin benar-benar bingung. Dengan canggung dia mengusap pipi Jieun.
"Oppa benar-benar tidak mengerti perasaanku! Sudah bilang akan membangun istana untukku, sekarang dengan mudahnya meninggalkanku!" Jieun masih terus menangis. Changmin tertegun.
"Apa kau benar-benar berpikir aku akan meninggalkanmu?" tanya Changmin. Jieun mendongak mendengar suara Changmin yang terdengar sedih.
"Saranghae, Jieun-a. Apa kamu pikir aku akan bisa meninggalkanmu?"Jieun terbelalak. Bibirnya bergetar.
"Nado....."
"Jieun-a," suara Sungmin terdengar dari belakang mereka berdua.
Changmin dan Jieun menoleh, menjumpai wajah Sungmin yang keruh. Sungmin mendengar semuanya. Karena dia menyusul Jieun yang berlari mengejar Changmin.
"Ayo pulang." wajah Sungmin benar-benar menakutkan. Dia menghampiri Changmin dan Jieun yang masih terpaku dan menarik tangan Jieun.
"Kita pulang." Sungmin berjalan sambil tetap menarik tangan Jieun.
"Oppa!"
"Hyung!"
Sungmin berhenti. Dia menoleh pada Changmin.
"Selamat jalan. Salam untuk Sooyoung-ssi."

*bersambung*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar