Senin, 01 Oktober 2012

No Other / episode 3


Gadis kecil itu menangis sendirian di taman. Di depannya, ada sebuah istana pasir yang telah rusak, dengan bekas injakan di sana sini. Seorang remaja memandangnya sedih. Remaja itu menghampiri gadis kecil itu.
"Jieun-a, uljima..." katanya sambil mengelus rambut gadis kecil itu.
"Changmin oppa...." gumam Jieun.
"Kenapa kau menangis saja? Katanya kau senang bermain di sini."
"Anak-anak itu...merusak istana pasirku. Mereka bilang, istana ini jelek dan mengganggu pemandangan. Huuuu..." Jieun kembali terisak. Changmin terdiam. Kemudian dia menghampiri istana rusak itu dan mulai membuat istana pasir baru.
"Oppa?" tanya Jieun penasaran. Changmin memandang Jieun sambil tersenyum. "Akan kubuatkan istana baru untukmu. Yang sangat bagus, supaya orang lain iri padamu tapi tidak berani merusaknya."
Mata Jieun membulat. Dia tiba-tiba berhenti menangis dan menghampiri Changmin. Tangan Jieun menggenggam pasir.
"Bolehkah...aku ikut membuatnya?"
"Hahaha, tentu saja! Ini kan istana untukmu! Ayo, buat kamarmu sendiri di sebelah sini!"
Tak lama kemudian keduanya sudah asyik membuat istana pasir. Lebih besar dan lebih bagus dari yang biasa dibuat Jieun sendiri. Gadis kecil itu tertawa lebar.
"Oppa, kalau sudah besar, aku akan tinggal bersamamu di istana ini!"
Gadis kecil berumur 10 tahun itu berkata dengan polosnya. Dia tidak tahu, kalimatnya itu telah membuat seorang remaja berumur 15 tahun terkesiap dan memerah wajahnya.

Yunho memandang jauh keluar jendela pesawat. Gedung-gedung telah berganti menjadi lautan. Sesekali bayangan awan terlewati, meniupkan dingin pada hati Yunho.
Akhirnya. Sebuah keputusan. Mengambil kembali Han Aeri. Melawan keegoisannya.
"....Aku juga baru tahu ada orang bodoh yang sama sekali tidak bisa berpikir jernih dan malah membuang orang-orang yang mencintainya."
Kata-kata Changmin itu benar-benar membuatnya tidak bisa tidur beberapa hari. Dia terus berpikir, merenung, dan menemukan bahwa satu-satunya yeoja yang ada di hatinya hanyalah Han Aeri. Bahkan waktu tidak bisa mengubah hal ini. Kerinduan yang ditekannya kuat-kuat selama ini telah mencapai batasnya. Bukan waktu yang singkat yang terentang di antara mereka, dan Yunho sebenarnya tidak yakin apakah Aeri masih menyediakan ruang untuknya. Tapi Yunho tidak ingin membohongi perasaannya lagi.
"Anda ingin minum, tuan?" seorang pramugari menyadarkan Yunho dari lamunan.
"Animnida, gomapseumnida..."
Pramugari itu menggangguk pelan, lalu menanyai orang di depan Yunho. Yunho memandang jam tangannya. Setengah jam lagi mereka mendarat. Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar kertas.
Han Aeri, d/a Han Seungho
13 Dongburo, Seogwipo-si, Jeju-do
Itu tulisan tangan Changmin. Saat Yunho memandangi koper di kamarnya, Changmin datang dan menyodorkan kertas itu. Yunho, saat itu, hanya menatapnya dengan hampa. Changmin menganggukkan kepala. Yunho tersenyum samar, lalu mengambil kertas itu dari tangan Changmin.
"Para penumpang, harap kencangkan sabuk pengaman anda. Kita akan segera mendarat."
Pesawat itu mendarat di Bandara Internasional Jeju. Yunho bergegas ke bagian informasi bandara begitu tiba.
"Bagaimana saya bisa ke Seogwipo?"
---------
Changmin sedang mengobrol dengan Sungmin di halaman belakang rumah Sungmin. Sungmin adalah yang memberikan alamat Aeri kepada Changmin.
"Hyung, kenapa hyung masih saja membantu Yunho hyung dan Aeri nuna? Padahal, yah, semua orang tahu apa yang terjadi di antara kalian...."
"Mereka berdua tidak bersalah. Kadang yang menghalangi cinta bukanlah orang lain, tapi diri mereka sendiri. Mereka merasa hanya diri mereka sendiri yang menderita, padahal sebenarnya mereka berdua sama-sama menderita. sama-sama menahan perasaan. Seharusnya mereka menguatkan diri karena kau tahu sendiri bagaimana Sooyeon ssi menolak mereka. Tapi ternyata mereka justru terpisah karena ego mereka sendiri."
"Hyung sepertinya ahli sekali mengenai hal ini. Apa hyung sudah sangat berpengalaman?" goda Changmin. Sungmin tersenyum.
"Aku sedang menunggu seseorang, Changmin-a."
"Jinjja? Siapa hyung?"
"Seseorang yang sedang pergi jauh. Di Afrika sana. Dia sedang volunteering. Choi Harin."
"Geurae. Lalu, setelah ini, bagaimana hyung dan Yunho hyung? Kalian akan berbaikan kan?"
"Entahlah. Semuanya tergantung Yunho. Aku sama sekali tidak pernah berpikir buruk tentang dia. Dia yang berpikir buruk tentang aku. Ah, bagaimana skripsimu?"
"Dua minggu lagi ujian skripsi."
"Baguslah. Cepat juga. Apa kamu memiliki seseorang yang selalu menyemangatimu?"
Muka Changmin memerah. Dia ragu untuk menjawab.
"Nah, sekarang kau malu-malu. Siapa? Seperti apa orangnya?"
"Dia, orang yang sangat bersemangat dan selalu tersenyum. Dia selalu ada di sampingku, berjanji untuk terus bersamaku. Dia memiliki senyum yang paling indah, seperti senyuman malaikat." jawab Changmin.
"Hahahaha, ada ya orang seperti itu di dunia ini? Harin juga cantik, tapi aku tidak pernah merasa senyumnya seperti malaikat."
Di balik pintu, Jieun mendengar semua yang dikatakan Changmin. Pipinya memanas.
"Ah, kenapa Jieun lama sekali membawa tehnya?? Jieun-a!!' seru Sungmin. Changmin salah tingkah mendengar Sungmin memanggil Jieun. Jieun muncul sambil membawa nampan. Dia juga terlihat berusaha tenang, dan tidak berkata sepatah katapun. Sungmin sebenarnya merasa sedikit aneh, tapi dia diam saja. Biasanya, dua dongsaengnya itu bercanda tak kenal tempat.
---------
Yunho berhenti berjalan di depan sebuah rumah tingkat dua. Ada tulisan Han Seungho di pagarnya. Yunho mengambil nafas dalam-dalam, lalu memencet bel. Seorang pria setengah baya keluar dari rumah itu dan membuka pintu pagar.
"Nuguseyo?"
"Naega Yunho, Jung Yunho imnida. Apa...Han Aeri tinggal di sini?"
Pria setengah baya itu melihat Yunho dengan penuh selidik. Dahinya sedikit berkerut, seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Ne, dia tinggal di sini."
Mata Yunho berbinar. Dia menahan perasaannya yang hendak meluap.
"Bisakah...saya bertemu dengan Aeri?"
"Dia sedang keluar. Dia ada di Community Center di dekat sini. Kau mau kesana?"
"Ne! Gamsahamnida! Apa anda Seungho ssi?"
"Benar. Baiklah, aku akan membuatkan denahnya. Apa kau punya pulpen dan kertas?" Yunho sigap menyodorkan barang yang diminta ajussi itu. Ajussi itu menggambar dengan cepat, lalu menyodorkannya pada Yunho.
"Kau bilang tadi, namamu Yunho?"
"Ne."
"Jangan membuatnya menangis lagi." kata ajussi itu. Lalu dia berballik dan masuk ke rumah. Yunho termangu sejenak.
"Aku tidak akan membuatnya menangis lagi. Tidak akan. Yaksok."
Community Center yang dimaksud paman itu berjarak sekitar 5 blok dari rumah itu. Yunho berjalan kaki sambil menarik kopernya. Seogwipo merupakan kota terbesar kedua di provinsi Jeju, setelah Jeju City. Tapi Yunho tidak menemui banyak kendaraan yang lewat. Mungkin karena ajussi itu memberikan petunjuk jalan-jalan yang tidak besar.
Cheonsadeul Community Center. Yunho berhenti di depan gedung bertingkat tiga itu. Jantungnya berdegup kencang. Yunho menghela nafas panjang, lalu melangkah memasuki gedung itu. Resepsionis di lantai satu menyapa Yunho ramah.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya Jung Yunho. Apa saya bisa bertemu dengan Han Aeri?"
"Han Aeri ssi ada di bagian perawatan manula, lantai dua. Apa anda sudah ada janji?"
"Tidak, tapi saya jauh-jauh datang dari Seoul untuk menemuinya. Dia.....teman lama saya."
"Baiklah, silakan anda naik. Liftnya di sebelah sana."
"Gamsahamnida."
------------
Changmin sedang sibuk merevisi skripsinya di kamar. Jam makan malam sudah lewat satu jam. Entah kenapa, makanan sekarang bisa terkesampingkan dengan mudah demi skripsinya. Tekad Changmin sudah bulat : lulus kemudian pergi dari rumah ini. Tabungan Changmin dari hasil kerja sambilan sudah cukup untuk menyewa rumah, tepatnya kamar sederhana selama setahun. Im Kyungsoo, salah satu temannya yang juga sedang skripsi menawarkan kamarnya yang akan ditinggalkan setelah lulus nanti. Changmin sudah berbicara dengan ibunya dan Sooyoung sangat senang mendengarnya. Apalagi, Soojung menghindarinya setelah mereka bertemu di sekolah itu. Tentu saja Sooyeon pun menjadi memiliki alasan yang lebih untuk memusuhi Changmin.
"Anak tidak tahu diri sepertimu lebih baik tidak pernah masuk ke kehidupan kami. Kau mengacaukan semuanya! Kamu dan ibumu yang tidak waras itu. Hah, kenapa suamiku itu mau saja menampungmu dan membiayai kalian!" itu kata-kata Sooyeon lima hari yang lalu saat Changmin mengambil minuman di dapur.
Changmin menatap Sooyeon tajam. Changmin beranjak, mengambil sebuah buku dan amplop di kamarnya, lalu kembali ke dapur. Dia meletakkan amplop dan buku itu di meja.
"Nyonya Jung yang terhormat, saya sama sekali tidak akan melupakan apa yang telah anda dan keluarga anda berikan pada saya dan ibu saya. Saya berterimakasih atas itu semua. Dan saya bukan orang yang tidak punya harga diri untuk menerima semua itu dengan cuma-cuma. Buku itu, memuat semua biaya yang telah anda keluarkan untuk merawat saya dan ibu saya selama ini. Sangat banyak, saya tidak akan bisa melunasinya sekarang, tapi saya memberikan separuh dari jumlah itu saat ini. Dan ingat, selama ini saya kuliah dengan beasiswa pemerintah, bukan dengan biaya dari suami anda. Mulai besok, tidak perlu mengeluarkan sepeserpun untuk saya dan ibu saya. Kami punya tangan dan kaki sendiri. Tolong katakan itu pada suami anda juga."
Changmin masuk ke kamarnya tanpa menunggu jawaban Sooyeon. Dia sebenarnya merasa tidak pantas bersikap seperti itu pada orang yang lebih tua, tapi kata-kata Sooyeon benar-benar melukai perasaannya. Dia laki-laki, dan harus bisa melindungi ibunya dengan tangannya sendiri. Changmin tidak meragukan kasih sayang Jung Sooman pada ibunya, tapi pamannya itulah penyebab ayahnya meninggalkan ibunya. Changmin tahu kalau yang meneror ayahnya dan keluarga ayahnya dulu adalah keluarga Jung, dan pamannya itu adalah yang paling keras menentang pernikahan ibu dan ayah Changmin. Changmin tidak tahu dimana ayahnya berada sekarang. Menghilangnya Shim Changryul, ayah Changmin, adalah puncak dari kekacauan keluarga itu. Sooyoung terganggu kejiwaannya, meski dia selalu berbisik pada Changmin, "Ayahmu akan kembali suatu hari nanti, sayang."
Suara ketukan pintu menyadarkan Changmin dari lamunannya. Jung Sooman berdiri di pintu dengan wajah cemas.
"Apa kamu tahu kemana Yunho pergi? Dia tidak pulang sejak kemarin sore. Dia juga tidak menjawab teleponnya. Kopernya juga tidak ada."
"Entahlah, samchon. Sepertinya dia mencari cintanya yang hilang."
Mata Sooman membesar mendengar jawaban Changmin yang dingin. Dia masuk dan mencengkeram kerah baju Changmin.
"Kau tahu kemana dia pergi kan? Dia mencari Aeri? Kemana? Kemana??"
Changmin menatap pamannya itu tajam. Kerut di sekitar mata dan bibirnya menunjukkan umurnya yang hampir mencapai setengah abad. Dia pria tua yang letih dengan kehidupan. Mendadak Changmin merasa kasihan pada pamannya itu.
"Memangnya apa yang akan paman lakukan bila tahu kemana hyung pergi? Dia menyusul Aeri nuna ke tempat yang jauh, aku tidak yakin paman akan bisa menyusul mereka.""Eodi? Eodisseo??""Tunggu saja dia pulang, samchon. Siapkan diri samchon, juga istri samchon. Jung Yunho adalah seorang namja, dan dia memiliki hal berharga yang tidak bisa direnggut begitu saja."
"Neo, jinjja...." Jung Sooman mengencangkan cengkeramannya di kerah Changmin.
"Geumanhaeyo, samchon. Sebelum hal yang lebih buruk terjadi pada keluarga ini, lebih baik samchon menjalani hidup yang baik dan menanggalkan berbagai tambalan yang samchon pakai.""Wae! Kenapa kamu mengatakan hal yang sama seperti ayah sialanmu itu?? Tambalan apa? Aku selalu memberikan yang terbaik untuk keluargaku!! Orang luar seperti kamu tidak usah ikut campur!""Kalau begitu lepaskan tangan samchon. Saya hanya orang luar, tidak perlu ditanggapi seserius ini."
Jung Sooman melepaskan cengkeramannya. Dia berjalan keluar kamar Changmin dengan sedikit terhuyung. Changmin sedikit trenyuh. Pamannya itu adalah seseorang yang mencintai dengan total, tapi cintanya itu seringkali buta. Dia mencintai adiknya, tapi membuat adiknya itu tidak bahagia. Dia mencintai istrinya, tapi cintanya itu membuatnya diperbudak.
----------
Yunho memandang Aeri melalui kaca. Gadis itu menemani seorang nenek yang sedang makan. Manula-manula di sana banyak yang bertingkah seperti anak kecil. Aeri nampak menemani nenek itu dengan penuh perhatian. Sesekali dia membuka mulutnya dan pura-pura ikut mengunyah bersama nenek itu. Yunho tersenyum.
"Mencari siapa nak?" seorang kakek menepuk bahu Yunho. Yunho terkejut.
"Saya...saya..." Yunho tergagap. kakek itu memandang ke dalam.
"Ah, pasti Aeri uisaengnim. Apa anda namja yang selalu dia ceritakan itu? Yang selalu mengajaknya ke mengunjungi bibinya di rumah rehabilitasi jiwa?""Aeri....bercerita tentang saya?""Ye. Ayo kita masuk. Aeri ssi pasti sangat senang.""Tapi...tapi saya...." Yunho mengikuti tarikan kakek itu ke pintu.
"Aeri ssi, yeobo-mu datang menjemput!" seru kakek itu. Yunho terbelalak, dengan panik dia memandang ke arah Aeri.
Aeri melihat Yunho. Mata mereka bertemu. Hanya dalam dua detik, Yunho melihat kaca di mata Aeri.
"Kenapa Hongjae ssi mengajak orang asing masuk? Suruh dia keluar." Aeri mengalihkan pandangan dari Yunho. Yunho merasa jantungnya seperti ditusuk.
"Aeri-ya..." suara Yunho penuh permohonan.
"Ka.""Aeri-ya..." Yunho menghampiri Aeri dengan tergesa. Dia berlutut di samping Aeri."Mianhaeyo. Jeongmal jeongmal mianhaeyo. Sarang...haeyo. Neomu saranghaeyo."
Aeri menghapus airmatanya. Ada sesuatu yang berdesakan di dalam hatinya. Rindu. Dia sangat merindukan Yunho.
"Berdirilah." suara Aeri bergetar.
Yunho bangkit. Dia menyodorkan kotak beludru berisi cincin pada Aeri. Aeri menatap kotak itu, lalu menampiknya kasar. Kotak itu jatuh di lantai.
"Aeri-ya...." kata Yunho terkejut.
"Aku tidak membutuhkan apapun darimu. Aku membutuhkanmu."Yunho tertegun, mencoba mencerna kata-kata itu. Matanya kemudian membesar.
"Majayo?"
"Ne, baboya!" tangis Aeri benar-benar tumpah.
Mata Yunho mendadak ikut berkaca. Dia mengulurkan tangan dengan ragu ke bahu Aeri, merangkulnya pelan. Aeri masih terisak."Uljima. Aku sudah berjanji pada Han Seungho ssi untuk tidak membuatmu menangis."Tangis Aeri semakin keras. Yunho tersenyum, menyeka airmata Aeri.
"Kajima. Jangan pernah pergi lagi, Aeri-ya."

**bersambung lagi**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar