Selasa, 08 November 2011

No Other / episode 1

Tokoh : Shim Changmin, Lee Sungmin,  Lee Jieun / IU, Jung Family (Yunho, Sooyeon, Soojung, Sooman)

Igeonmaneun algoga, neoman saranghasseotdeon dan han namja yeotdago
Neomu miryeonhaesseo neojocha, jigijido mothatdeon pabo deungshini yeotda
Neo kkeutkkaji nae gyote nameumyeon, deo himdeulgo sseurojil jido molla
Aju jarhan geoya neoreul jayurobge haejul sarami
Nae gyeote ol keoya, nae gyeote ol keoya
Just know this before you go, that I was the only man who loved you only
So stupid was I, an idiot, a scumbag who couldn’t even protect you
If you stay beside me ’till the end, you’ll be more heartbroken, you might fall
Made a very good choice, a person who will set you free,
Will come to you, will come to you


{Changmin, di balkon asramanya}
'Saat langit dingin, dengan sedikit bintang seperti kali ini, kau muncul dalam ingatanku. Selalu begitu, selalu dan selalu. Aku merasakan hangat di mataku. Langit yang mendung menjadi kabur. Apa kabarmu, nae cheonsa?''
{Jieun, di kamarnya yang hangat}
'Aku tidak bisa. Meski Sungmin-oppa sudah memberiku nasehat, aku tak bisa menerimanya. Sungmin-oppa memang lebih mengerti, dia sayang sekali padaku. Tapi bagaimanapun aku berusaha memahami kata-katanya, hatiku menolak mendengarkan. Maaf  Sungmin-oppa, tak semudah itu...''
___________________________________________
"Oppa, apakah kuliah itu seenak kelihatannya?"
"Hahaha, memangnya kenapa? Kelas 3 juga belum ada satu semester. Masih jauh. Lebih baik kamu belajar untuk ujian akhir semestermu, bukannya mengajak ngobrol orang yang sedang sibuk."
"Huh, selalu saja sok dewasa! Sungmin-oppa saja tidak berisik mengingatkanku belajar," bibir Jieun mengerucut. Changmin memandangnya dari sela-sela pagar yang dicatnya.
"Karena hyung tidak sempat mengingatkanmu, makanya aku yang mengingatkanmu. Hyung sudah bekerja keras untukmu, jangan lupakan itu."
IU memandangi tetangganya yang sedang sibuk mengecat pagar rumahnya itu. Keringat menetes dari pelipis Changmin. Masih kurang setengah bagian pagar yang belum dicat. Jieun memperhatikannya lekat-lekat. Dia kasihan melihat tetangganya yang baik hati itu berpeluh-peluh mengecat pagar rumahnya. Selalu baik hati, selalu seperti itu sejak pertama kali mengenalnya.
"Oppa, aku buatkan minum ya!" dengan lincah Jieun berlari ke rumah. Changmin memperhatikannya geli.
Gadis kecil itu selalu lincah berlari kesana-kemari. Seperti malaikat kecil  yang terbang lalu-lalang dengan sayapnya yang bersinar. Sayap Jieun ada pada senyumnya yang selalu mengembang, apapun kondisinya. Kecuali pada Sungmin dan Changmin. Pada dua orang yang sangat dekat dengannya. Pada mereka, dia tidak ragu untuk menangis, cemberut, marah dan sedih.
"Oppa, minum dulu! Ini aku buatkan lemon tea kesukaan oppa!" seru Jieun dari teras.
Changmin menurut. Dia bangkit dan berjalan ke teras. Di teras, Jieun menyodorkan segelas lemon tea dingin. Changmin meraih gelas itu dan menghabiskannya dalam sekali teguk.
"Waaah, oppa capek ya? Kenapa nggak istirahat dari tadi? Baboya!"
"Masih banyak yang harus diselesaikan. Kalau aku banyak istirahat, nanti tidak cepat selesai. Aigoo, lemon tea ini segar sekali. Saya mau lagi," Changmin mengisi gelasnya lagi. Jieun tertawa melihat si rakus itu sedang kambuh. Changmin memang sang shiksin.
"Habiskan saja, itu semua buat oppa kok. Aku bantu cat pagarnya ya!" tanpa menunggu jawaban, Jieun berlari ke pagar, mengambil kuas dan memperhatikan hasil kerja Changmin tadi.
"Omooo, ini rapi sekali! Baiklah, fighting!" Jieun mulai menggoreskan kuasnya. Changmin tersenyum.
Gadis kecil yang pertama kali dikenalnya saat dia berumur 13 tahun itu sudah beranjak remaja. Padahal waktu pertama kali bertemu, Jieun baru berumur 8 tahun, dan masih suka bermain pasir. Changmin masih ingat saat pertama kali mengajak Jieun ke taman di kompleks itu. Jieun, 8 tahun, berasal dari desa di pegunungan, terpesona melihat arena main pasir yang menurutnya sangat besar.
"Aku akan membuat istanaku di sini! Aku akan tinggal bersama pangeranku!"
Changmin tersentak. Pikirannya terlalu jauh kembali ke masa lalu. Entahlah, akhir-akhir ini dia memang sering melamun. Mungkin karena saat ini dia sudah mulai memikirkan skripsinya. Dia memandang Jieun yang sedang asyik mengecat, lalu keningnya berkerut.
"Neo baboya?? Jelek sekali. Apa-apaan itu?" Changmin meletakkan gelasnya, lalu menghampiri Jieun.
"Kenapa? Aku kan sudah meniru pekerjaanmu?"
"Hah, apa yang meniru? Kamu merusaknya. Lihat ini, ini, ini! Kenapa catnya  tidak rata begini? Itu, itu lihat, kamu melewatinya. Aigooo!" Changmin menunduk, memeriksa bagian pagar yang telah dicat Jieun.
Jieun cemberut di belakang Changmin. Kemudian sesuatu terlintas di benak Jieun. Dia ingin tersenyum, tapi ditahannya. Pelan-pelan dia mencolek cat dengan ujung jarinya.
"Hei, oppa?" kata Jieun sambil menepuk bahu Changmin. Changmin refleks menoleh.
"Apa?" sreeeet, cat warna pink itu menghiasi pipi kanan Changmin.
"Omoo, aku tidak menyangka oppa suka pakai blush on. Kekekeke..." Jieun siap berlari tapi tangan kanan Changmin lebih cepat menahan tangan kiri Jieun.
"Anak kecil, kamu mau main-main? Sini kamu!"
Sore itu Jieun sukses menjelma menjadi badut warna pink. Selain itu, pagar rumahnya juga belum selesai dicat...

*****

Kamar sempit itu terlihat berantakan. Buku-buku tebal bertumpuk-tumpuk. Changmin sibuk mengetik di netbook mungilnya. Keningnya berkerut. Sesekali dia membuka buku tebal di pangkuannya.
"Changmin oppa?" kepala Soojung muncul dari celah pintu yang sedikit terbuka.
"Ada apa?" Changmin menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari netbooknya.
"Ngg, apa oppa sedang sibuk?"
"Silakan lihat sendiri. Minggu ini aku harus menyelesaikan bab I. Memangnya kenapa?"
"Amma dan appa sedang tidak ada. Aku lapar. Oppa mau menemaniku beli makanan?"
Changmin menghela nafas. Dia sebenarnya sayang meninggalkan pekerjaannya. Tapi sebagai laki-laki, mana boleh dia membiarkan Soojung keluar sendirian malam-malam begini? Apalagi ini SOOJUNG. Putri satu-satunya keluarga Jung, yang telah merawatnya selama 13 tahun. Keluarga Jung? Merawatnya? Tidak tepat juga sepertinya.
"Sooyeon, dia Changmin, putra adikku. Kau tahu sendiri bagaimana keadaan Sooyoung. Kita terpaksa menampung anak ini sampai kondisi Sooyoung pulih," Jung Sooman menggandeng seorang bocah berumur 10 tahun yang tampak kikuk dan salah tingkah. Jung Sooyeon, istrinya, langsung meradang mendengarnya.
"Menampung? Kau tidak ingat kita masih punya dua anak? Kau tidak ingat biaya sekolah Yunho dan Soojung yang besar? Menampung, katamu?"
Bocah yang digandeng Sooman menggigil mendengar suara tinggi Sooyeon. Dia melepaskan tangan Sooman dan berlari keluar. Jung Yunho, 13 tahun, putra pertama keluarga itu melihat seluruh kejadian tadi dari tangga. Dia turun dan menghampiri orangtuanya.
"Amma, kau keterlaluan sekali. Benar-benar keterlaluan..." Yunho berkata dengan suara bergetar. Lalu dia berlari keluar, bermaksud mencari Changmin. Saat dia akan membuka pintu pagar, dia mendengar isakan pelan dari balik tumpukan kayu di halaman. Dia tidak jadi keluar dan menghampiri tumpukan kayu tadi. Di sana, Changmin terisak sambil memeluk lututnya.
"Changmin?" Changmin mendongak.
"Naneun Yunho imnida. Jung Yunho. Mannaseo bangapseumnida." Yunho mengulurkan tangannya.
"Oppa, kau mau makan apa?"
Changmin tergeragap. "Hah? Oh, bibimbap saja. Yang ekstra pedas."
"Oppa benar-benar suka pedas ya. Baiklah, kita duduk di meja itu saja ya." Soojung menarik tangan Changmin. Mereka duduk di meja dekat jendela.
"Oppa, memangnya kuliah itu enak ya?" tanya Soojung. Changmin tertawa. Dia ingat, kemarin Jieun juga menanyakan hal yang sama.
"Kamu juga kelas 3 ya, seperti Jieun? Yaaah, aku sudah lupa bagaimana rasanya SMA, jadi aku tidak bisa memberikan perbandingan untukmu. Yang jelas kuliah lebih mandiri daripada SMA," Changmin menjelaskan, tanpa menyadari perubahan wajah Soojung.
'Jieun lagi. Selalu Jieun dan Jieun. Kenapa, oppa?'
Soojung menatap Changmin yang sudah lahap menyantap bibimbapnya. 'Lihat aku, oppa. Aku  yang selalu di dekatmu.''
"Wae, Soojung-a? Nanti jjajjangmyunmu dingin," suara Changmin menyadarkan Soojung.
"Mworagoyo?"
"Nanti jjajjangmyunmu dingin."
"Ah, iya oppa. Aku memang menunggunya agak dingin."
Soojung mulai memakan jjajjangmyunnya, sedangkan bibimbap Changmin tinggal separuh. Mereka makan dalam diam. Sejak dulu, mereka memang jarang bicara. Changmin agak sungkan pada putri kesayangan Jung Sooyeon itu. Padahal, sejak masuk SMA, Soojung mulai menyukai Changmin. Sejak Changmin terlihat dewasa dengan aura kesepiannya yang kental. Aura yang hanya bisa pudar bila ada Yunho di sisinya.
"Oh ya, apa Yunho oppa menghubungimu? Sudah beberapa bulan dia tidak pulang."
"Anieyo. Aku juga tidak tahu. Mungkin hatinya masih sedikit sakit setelah kejadian itu."
"Kejadian itu?"
"Aeri eonni."
"Oh."
Han Aeri. Gadis lincah yang seangkatan dengan Yunho dan Sungmin. Mereka bertiga mahasiswa Universitas Dankuk. Aeri sempat menjalin hubungan dengan Yunho. Tapi karena sifat Yunho yang cuek, Aeri merasa tidak diperhatikan. Padahal sebenarnya Yunho sangat mencintai Aeri. Aeri sering mengadu pada Sungmin. Sungmin tak bosan-bosannya berusaha meyakinkan Aeri bahwa Yunho sangat mencintainya. Masalah menjadi lebih besar saat Sooyeon tidak merestui mereka berdua. Suatu malam, Aeri menelpon Yunho untuk mengajaknya bertemu. Malangnya, handphone Yunho tertinggal di rumah. Sooyeonlah yang menjawab telpon itu. Yunho dan Changmin saat itui sedang bertanding game di rumah Sungmin.
"Gayo. Yunho tidak membutuhkanmu."
Aeri pergi ke rumah Sungmin sambil menangis. Begitu Sungmin membuka pintu, Aeri langsung memeluknya. Yunho dan Changmin keluar untuk melihat siapa yang datang. Mereka terkejut melihat Aeri menangis sambil memeluk Sungmin.
"Aeri-ya?" panggil Yunho.
Aeri melepaskan pelukannya pada Sungmin, dan memandang Yunho.
"Yunho-ya, aku membencimu."
Yunho tertegun. Perlahan dia melangkah keluar. Tangan Sungmin yang menahannya dia kibaskan. Yunho pergi dengan hati yang hancur.
"Padahal Sungmin hyung tidak bersalah atas kejadian itu. Yunho hyung juga. Malam itu hanya sebuah kesalahpahaman. Kenapa mereka berdua harus saling diam seperti sekarang?" Changmin menyatakan penyesalannya.
"Sungmin ssi mengkhianati Yunho oppa."
"Itu tidak benar, Soojung-a. Sejak awal mereka bertiga bersahabat. Sungmin hyung juga sudah menegaskan kalau dia tidak memiliki perasaan apapun pada Aeri noona."
"Tapi Yunho oppa melihat Aeri eonni memeluk Sungmin ssi. Bukankah itu sangat menyakitkan?"
"Ya, Soojung-a, bukankah sebenarnya ibumulah yang menyebabkan semua ini?"
"Mwot? Umma? Kau kurang ajar sekali, oppa."
"Ne, bela saja ibumu terus. Kau memang anak mama."
Soojung berdiri. Nafasnya naik turun.
"Oppa, neo jjinjja.... Ah sudahlah, aku mau pulang!" Soojung benar-benar pergi. Changmin memandangi meja.
"Aigoo, setidaknya bayar dulu makanannya. Dasar tidak bertanggung jawab."
Changmin berjalan pulang sendirian. Dia melewati rumah Sungmin dan Jieun. Terdengar gelak tawa dari ruang keluarga. Sepertinya mereka berdua sedang melihat televisi bersama. Changmin berusaha keras untuk tidak berbelok dan bergabung dengan mereka.
"Tidak bisa, jarang sekali mereka bisa berkumpul berdua seperti ini. Lebih baik aku pulang dan mengerjakan skripsiku," gumam Changmin.
Saat mendekati gerbang rumah keluarga Jung, Changmin melihat Soojung sedang berjongkok di samping pintu sambil mengusap-usapkan kedua tangannya.
"Soojung-a? Sedang apa?" sapanya. Soojung langsung berdiri.
"Appa dan Umma sudah pulang. Aku kan tidak boleh keluar malam sendirian. Kalau aku pulang sendiri, mereka pasti marah. Karena itu aku menunggumu, oppa," jelas Soojung.
"Ayolah, kita masuk. Di sini dingin."
Soojung tersenyum manis. "Oppa..." gumamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar