Sabtu, 16 Juni 2012

Scent Of A Woman : How Much You Can Endure The Pain?

Libur telah tiba! Meski setelahnya ada neraka! Hahaha. Libur minggu tenang yang berlangsung sebelum Ujian Akhir Semester ini lamanya 1 minggu, sejak tanggal 2 sampai tanggal 8 Januari 2012.
Seperti biasa, saya berniat mencari hiburan untuk mengisi waktu libur ini. Ada beberapa drama yang ingin saya tonton, misalnya It's Okay, Daddy's Girl (karena ada Donghae), Scent Of A Woman (ada Kim Sunah dan Lee Dongwook) dan saya juga pengen lihat We Got Married edisi Adam Couple. Korea semua? Iya. Film Indonesia, saya kurang referensi. Film Barat, takut salah minjem yang aneh-aneh. Dengan bekal judul itu, saya berangkat ke persewaan DVD (bajakan). Scent Of A Woman lah yang berhasil saya pinjam.
Sejak episode pertama, saya tidak menyesal pinjam drama ini. Apalagi ada bonus yang tidak saya sangka, yaitu ada Eom Gi Joon juga! Waaaa, Kang Oh Hyeok songsaenim ini sangat saya suka! Saya suka suaranya yang berwibawa. Dan di situ dia jadi dokter lagi! Jas putihnya, suaranya, kacamatanya...

Scent Of a Woman (여인의 향기 / Yeoinui Hyanggi) menceritakan tentang Lee Yeonjae (Kim Sunah), seorang pegawai kantor yang penampilannya tidak menarik dan sering diperlakukan buruk oleh orang-orang di sekitarnya. Ayahnya meninggal karena kanker, dia hidup bersama ibunya yang kurang dewasa (alias kekanakan) di lantai 2 rumah seorang kakek galak (nggak tau siapa namanya). Saat diserahi tugas meminjam mobil untuk klien (kantor Yeonjae namanya Line Tour), dia keduluan oleh seseorang. Pertama kali melihat orang itu, Yeonjae langsung jatuh cinta. Orang itu ternyata Kepala Departemen yang baru, Kang Jiwook (Lee Dongwook), anak dari Chairman pemilik Line Tour. Saat Yeonjae memandangi Jiwook dari dalam taksi (setelah mengejar mobil Jiwook yang awalnya mau dipinjamnya), sebuah truk menabrak taksi Yeonjae dari belakang. General checkup yang awalnya bertujuan mengecek apakah ada luka, menjadi awal dari vonis kanker otak yang didapatnya. Dokter yang memeriksanya adalah Chae Eunseok (Eom Gi Joon). Vonis inilah awal dari semua cerita. Pertemuannya dengan Eunseok di rumah sakit, pertemuannya dengan Jiwook saat Yeonjae berlibur, persaingannya dengan Im Sekyung (Seo hyo Rim) yang telah dijodohkan dengan Jiwook, kisah cintanya dengan Jiwook yang penuh lika-liku (ehem), dan lain-lain. Semuanya menunjukkan proses hidup Yeonjae yang dimulai dengan penghinaan, lalu pemberontakan, pertahanan, dan berakhir dengan kebahagiaan. Kenyataan bahwa sebenarnya Yeonjae memiliki bakat namun tidak terdeteksi karena orangnya sendiri juga merasa tidak istimewa itu juga sangat umum ditemui di dunia. Mungkin termasuk saya hehehe.

Satu catatan saya adalah bagaimana Yeonjae menahan penderitaan yang selalu datang padanya. Dia banyak bertahan, namun juga melawan saat hal itu bertentangan dengan masalah kemanusiaan dan dirinya sendiri. Seperti pada kepala bagiannya, pada kakek galak di rumahnya, juga pada Im Sekyung. Dia bertahan saat penderitaan yang datang adalah yang akan menyakiti orang lain bila dilawan. Cinta tulusnya pada ibunya adalah salah satu hal yang paling saya kagumi, mengingat ibunya itu benar-benar troublemaker yang kekanak-kanakan. Ketegaran dan cintanya itu yang membuka hati ibunya hingga pada akhirnya si ibu bisa benar-benar bersikap seperti itu.

Makna film ini bagi saya adalah seperti judul tulisan ini. How Much You Can Endure The Pain? Kita harus bisa mendeteksi mana penderitaan yang harus ditahan, dan mana penderitaan yang harus dilawan. Itu saja sih.
Oh iya, saya menerbitkan ini jauh sekali setelah draftnya saya buat, hampir setengah tahun. Hahaha, maaf ya....

No Other / episode 2

"Oppaaaaa, bogoshipdaaa..." Soojung berlari-lari menyambut Yunho. Yunho tersenyum, mendekap adiknya dengan hangat.
"Soojung-a, sudahlah, Yunho itu capek. Biarkan dia istirahat dulu. Dia kan tidak cuma sehari di sini. Ayo, biarkan dia istirahat," Jung Sooman, yang rambutnya sudah memutih mengingatkan bungsunya yang memang manja itu.
"Aboji," Yunho melepaskan pelukan Soojung, lalu ganti memeluk ayahnya. Soojung cemberut.
"Appa, aku merindukan Yunho oppa. Kenapa appa tidak pernah mau mengalah padaku?"
"Kamu selalu saja memonopoli kakakmu kalau dia pulang. Sana panggilkan ibumu. Ah, panggil Changmin juga!"
Soojung masuk ke dalam rumah. suaranya yang memanggil ibunya terdengar hingga luar. Yunho tersenyum kecut. Ibunya adalah seseorang yang sebenarnya tidak ingin ditemuinya. Melihat ibunya, Yunho akan melihat luka yang ditinggalkan oleh gadis itu. Han Aeri. Apa kabarnya sekarang?
"Oh, kamu datang nak." Jung Sooyeon muncul dari dalam rumah. Yunho membungkuk sedikit dan memaksakan senyumnya. Dia menyodorkan sebuah kantong plastik.
"Oleh-oleh dari Busan."
Sooyeon menyambar kantong itu dari tangan Yunho. Dia lalu berjalan masuk ke rumah. Dia menoleh lagi, melambai pada Yunho, menyuruhnya masuk ke rumah. Jung Sooman menghela nafas melihat kelakuan istrinya itu.
"Masuklah nak. Kamu pasti lelah." kata Sooman. Yunho tersenyum.
"Aboji, dimana Changmin?""Dia pasti sibuk di kamarnya. Dia sedang skripsi. Sepertinya dia ingin sekali segera lulus."
"Oppa, Changmin oppa sedang tidur. Aku tidak berani membangunkannya. Sepertinya dia lelah sekali." Soojung tiba-tiba muncul lagi dari dalam rumah. Yunho mengambil sesuatu dari tasnya dan memberikannya pada Soojung.
"Sebentar lagi kau ujian semester kan? Ini adalah pena keberuntungan yang aku beli saat ada festival di Busan. Pakailah. Semoga kau menjadi semakin bersemangat."
"Jeongmal? Aaah, gamsahamnida oppa! Dan pena ini, waaa, yeppeutda!" Soojung menimang-nimang pena pemberian Yunho dengan sayang. Yunho mengacak rambut adiknya itu.
"Ayolah, kita masuk!" Jung Sooman mengangkat salah satu tas Yunho dan membawanya masuk. Yunho dan Soojung menyusulnya.
Changmin menguap. Dia lalu bangkit, duduk dan mengucek-ucek mata. Masih mengantuk.
"Wah, mahasiswa tingkat akhir ini benar-benar suka tidur!" sebuah suara terdengar dari pintu kamar Changmin. Changmin menoleh.
"HYUNG!!" Changmin langusng bangun sepenuhnya. Dia menghambur ke arah Yunho sambil membentangkan tangan. Mereka berdua berpelukan sambil tertawa-tawa.
"Changmin ah, kenapa kamu kurus sekali? Apa gizimu habis terhisap lembar-lembar kertas itu?" Yunho menunjuk tumpukan buku referensi di dekat laptop Changmin. Changmin tertawa.
"Hyung saja yang tambah gendut! Apa hyung berhenti fitness?"
"Ini kan karena selama pelatihan aku jarang beranjak dari kursi!"
"Bagaimana hyung? Nanti malam kita main game lagi di tempat Sungmin hyung? Dia dan Jieun pasti akan senang. Aku sudah mebayangkan Jieun menyuguhkan jus ala dia yang tidak jelas itu...." Changmin terdiam begitu Yunho langsung melepaskan tangan Changmin di pundaknya.
"Sudahlah. Kamu masih akrab ya dengan mereka? Haha, tentu saja. Di sini tidak ada yang bisa menerimamu seperti mereka...."
"Hyung, kau bicara apa? Sudahlah, sudah hampir setahun. Apakah hyung benar-benar membenci Sungmin hyung sampai seperti itu? Kalian sahabat kan??"
"Aku tidak punya sahabat yang mengambil cintaku di depan mataku."
"Hyung, ayolah! Tidak ada yang diambil dan mengambil di sini!"
"Shikkeuro! Kamu tidak tahu apa-apa, Changmin ah. Aku tidak ingin hari pertamaku di rumah diisi dengan perdebatan denganmu. Kamu akan selalu membela dia."
"Hyung..."
"Aku lapar. Apa kamu tidak ingin makan malam?" tanya Yunho datar. Changmin menggeleng.
"Aku sudah punya janji makan malam di sebelah."
"Baiklah. Terserah."
------------
Changmin sedang mengunyah kimchi lobaknya saat Sungmin dengan ragu-ragu bertanya, "Benarkah Yunho sedang di rumah?"
"Ne hyung, dia datang tadi sore."
"Lalu kenapa kamu malah makan di sini?"
"Ah, hyung tahu sendiri, saya tidak pernah makan bersama keluarga Jung."
"Tapi ada Yunho kan?"
Changmin tertawa hambar. Dia mengambil lagi telur gulung di depannya. Jieun memperhatikan Changmin yang kelihatan tidak enak hati. Dia tiba-tiba bertepuk tangan.
"Jamkkan manyo! Masih ada masakan spesial yang belum aku sajikan. Gidaryeo, gidaryeo, eo?" dia pergi ke dapur dan kembali membawa sebuah nampan yang ditutupi tudung saji.
"Ayo tebak, apa ini??" dia menaruh nampan itu di tengah meja.
"Sup ayam?"
"Abalon?"
Jieun menggeleng-geleng sambil tersenyum, lalu dia membuka tudung saji.
"Jjan! Cumi pedas! Woohoooo...." serunya riang. Dua oppa di sana bertepuk tangan riuh. Cumi memang kesukaan Sungmin dan Changmin. Tanpa disuruh keduanya segera mengambil sumpit dan mencicipinya.
"Mashitaa! Aigooo, uri dongsaeng benar-benar koki handal!" seru Sungmin bahagia. Jieun kesayangannya, satu-satunya keluarga yang masih dia miliki, telah tumbuh menjadi seorang gadis yang terampil.
Changmin mengangguk-angguk, mulutnya sibuk mengunyah. Jieun senang melihat dua oppanya itu makan dengan lahap. Sudut matanya memandang sesosok orang di depan pagar. Jelas sekali, itu Yunho. Jieun bangkit dan berlari ke depan. Sungmin dan Changmin memandangnya tidak mengerti.
"Yunho oppa!" teriak Jieun di teras. Yunho sudah pergi.
"Itu tadi Yunho hyung?" tanya Changmin saat Jieun kembali ke ruang makan. Jieun mengangguk. Dia lalu menatap Sungmin dengan mata memelas.
"Waeyo? Kenapa kamu melihatku seperti itu?"
"Sungmin oppa, tidak bisakah oppa berbaikan dengan Yunho oppa? Seperti dulu? Aku ingin rumah kita ramai seperti dulu. Kalian bertiga bermain game dengan berisik, aku ingin seperti itu lagi."
"Apa kamu pikir aku suka dengan kondisi ini, Jieun-a??? Ini semua karena Yunho terlalu egois! Apa dia tahu kalau Aeri sangat sakit dengan perpisahan mereka?? Apa dia tahu kalau Aeri sekarang ada jauh di Jeju karena dia tidak sanggup lagi berada di Seoul??"
"Aeri nuna...ada di Jeju?" tanya Changmin. Sungmin memandangnya letih.
"Ne. Bukan hanya Yunho dan aku yang sakit karena peristiwa itu. Aeri...adalah yang paling menderita. Dia ditolak oleh Sooyeon-ssi. Selain itu, orang yang dia cintai juga meragukannya. Apa kau pikir itu hal yang mudah untuk seorang gadis??"
Changmin tertegun. Yunho juga pergi dari Seoul, karena Aeri. Kenapa dua orang yang saling mencintai harus mengalami hal semacam ini? Jung Sooyeon, seharusnya bisa Yunho dan Aeri atasi bersama dengan cinta mereka. Tapi kenapa kesalahpahaman menjadikan semuanya berantakan seperti ini? Changmin masih sibuk dengan pikirannya ketika bel berbunyi dan membuyarkan pikirannya. Jieun melarang Sungmin membukakan pintu.
"Tidak usah oppa, biar aku yang membukanya. Itu pasti Sanghyun. Dia bilang akan datang meminjam buku." Jieun bangkit dari duduknya dan berjalan ke pintu depan. Terdengar suara pintu dibuka, dan suara seorang pemuda memberi salam. Pemuda? Telinga Changmin tegak. Sungmin bangkit menuju dapur, mengambil minuman, dan hendak mengantarkannya ke depan. Changmin segera berdiri.
"Aku saja....yang mengantar ini ke depan. Hyung bisa istirahat sekarang."
"Geurae? Baiklah. Ini." Sungmin menyerahkan nampan pada Changmin, lalu dia sendiri pergi ke kamarnya. Dia lelah. Changmin membawa minuman itu ke ruang tamu. Seorang pemuda sedang mengobrol dengan Jieun. Sesekali mereka tertawa. Changmin berusaha untuk tidak merengut. Dia tersenyum pada pemuda itu dan menaruh minuman di meja.
"Yeogi... Ada minuman untuk kalian. Siapa tahu kalian haus setelah tertawa-tawa." kata Changmin. Pemuda itu berdiri dan membungkuk pada Changmin.
"Annyeong hashimnikka, hyung. Park Sanghyun imnida. Jieun chingu." sapanya.
"Annyeong haseyo. Shim Changmin imnida."
"Shim? Bukan Lee?"
"Ah, Sanghyun-a, Changmin oppa adalah tetanggaku. Rumahnya yang di sebelah kiri itu, rumah keluarga Jung.""Jung? Rumah Jung Soojung?"
"Iya. Changmin oppa....nggg, keluarga mereka..." Jieun tampak agak susah menjelaskan.
"Saya menumpang di sana." kata Changmin langsung. Jieun menatapnya tajam. Changmin pura-pura tidak sadar.
"Kalian berdua sekelas? Dengan Soojung juga sekelas?" tanya Changmin.
"Betul. Apa Jieun tidak pernah cerita kalau mereka sekelas?"
"Sepertinya mereka tidak terlalu akrab."
"Oppa, apa kau ingin terus ngobrol dengan kami?" tanya Jieun tajam. Changmin mengangkat bahu.
"Baiklah, aku akan pulang. Sungmin hyung ada di dalam. Annyeong, Jieun-a. Annyeong, Sanghyun-ssi."
Changmin meninggalkan rumah keluarga Lee dengan perasaan tidak enak. Pikirannya penuh dengan Jieun dan Sanghyun. Jieun dan Sanghyun. Jieun dan Sanghyun.
"Aiiissshh, apa yang aku pikirkan??? Sudahlah, bab 3 sudah menunggu! Fighting!" Changmin berlari-lari dan berhenti di pintu gerbang rumah keluarga Jung. Yunho sedang duduk di beranda. Changmin membuka pintu gerbang perlahan dan masuk. Dia duduk di samping Yunho.
"Hyung, tidak pergi? Biasanya hyung main ke Namsan. Ah, tidak ada lagi yang diajak ke sana ya?" sindir Changmin. Yunho memandangnya kesal.
"Hyung tidak ada niat untuk berbaikan dengan Sungmin hyung dan Aeri nuna?"
"Sudah berapa kali aku katakan, aku paling benci pengkhianat...."
"Aeri nuna ada di Jeju." potong Changmin. Yunho terbelalak.
"Je...Jeju? Kenapa?"
"Kenapa? Tentu saja karena dia ditolak oleh ibu orang yang dicintainya, dan sekaligus diragukan cintanya oleh orang itu. Aku juga baru tahu ada orang bodoh yang sama sekali tidak bisa berpikir jernih dan malah membuang orang-orang yang mencintainya."Plakk! Sebuah tamparan mendarat di pipi Changmin. Panas. Sakit. Yunho menampar Changmin dengan sekuat tenaga. Mata Yunho memerah.
"Apa Sungmin yang mengatakan itu padamu?"
"Apa itu masih mengganggumu hyung? Lalu kenapa kamu harus pura-pura menahan sakit sendirian?"
"Kamu tidak tahu apa-apa. Sudahlah." Yunho bangkit dan berjalan terhuyung ke dalam rumah. Changmin menghela nafas. Darah Jung Sooyeon memang tetap mengalir pada Yunho. Keras kepala.
--------------
Changmin sudah seharian di kamar. Targetnya wisuda bulan Mei. Sekarang sudah tanggal 1 April. Sekitar 80% sudah tercapai. Dia agak malas keluar kamar. Sejak malam itu, dia dan Yunho tidak banyak bicara. Yunho telah mulai bekerja di firma hukum Han. Training di Busan selama beberapa bulan kemarin benar-benar diuji aplikasinya. Maklum saja, firma hukum Han adalah satu dari 10 firma hukum terkemuka di Korea Selatan.
Toktoktok, pintu kamar Changmin diketuk. Changmin mendongak. Jung Soojung.
"Ada apa?"
"Oppa tidak ingin makan?"
"Aku belum lapar."
"Oppa, apa....aku...boleh mengatakan...sesuatu?"
"Sejak kapan kamu minta izin untuk mengatakan sesuatu?" Changmin balas bertanya.
Putri kesayangan Jung Sooyeon ini sebenarnya selalu berusaha bersikap baik pada Changmin, tapi Changmin secara tidak sengaja tahu bahwa Soojung juga menolak saat Jung Sooman hendak merawat Shim Sooyoung, ibu Changmin, di rumah ini. Changmin masih sangat ingat apa yang dikatakan Soojung. Saat itu musim panas setahun yang lalu. Kondisi Sooyoung sudah stabil sehingga Sooman berniat membawa Sooyoung ke rumah. Sooyeon dan Soojung yang menolak keras rencana itu.
"Aku tidak mau seorang ajumma yang kurang waras berkeliaran di rumah!" kata Soojung saat itu. Hati Changmin serasa dirobek saat mendengar kalimat itu keluar dari seorang gadis kelas 1 SMA. Sejak saat itu, Changmin mengambil jarak dengan keluarga Jung. Apalagi Yunho juga sedang ada training di Busan sehingga jarang sekali pulang. Sempurnalah tembok tinggi itu terbangun antara Changmin dan keluarga Jung. Jung Sooman, pamannya, hanya peduli pada Sooyoung karena Changmin adalah anak dari Sooyoung dengan pria yang tidak disukai Sooman. Marga Shim inilah tembok di antara mereka.
"Oppa, neomu johahaeyo...." kata Soojung sambil menunduk. Changmin mengangkat wajahnya, mendongak menatap gadis itu.
"April Mop kan? Astaga Soojung, kamu pikir aku tertipu dengan hal seperti ini? Aniyo. Sudahlah, aku sedang mengerjakan skripsiku. Bukankah hyung sudah pulang, kenapa kamu justru ke sini, bukannya melepas rindu dengannya?"
Soojung tidak menjawab. Matanya berkaca-kaca.
"Nappeuneum. Oppa nappeuneum!" serunya. Dia langsung berbalik dan berlari ke kamarnya. Brakk! Suara pintu kamar yang dibanting terdengar. Changmin terdiam, tidak mengerti. Kemudian terdengar langkah kaki cepat menuju kamar Changmin. Jung Sooyeon muncul dari pintu kamar.
"Apa yang kamu lakukan, baboya! Lagi-lagi kamu membuat masalah saja!" dia langsung mendamprat Changmin. Changmin memandangnya dingin. Wanita inilah penyebab semua hal buruk yang terjadi di sekitarnya.
"Percuma saja anda bicara seperti itu padaku. Soojung yang datang kemari dan menangis. Aku tidak berbuat apa-apa." Jung Sooyeon melotot dan meninggalkan kamar Changmin. Changmin menggeleng-geleng.
"Muncul lagi satu masalah. Aku hanya ingin skripsiku cepat selesai. Sepertinya aku harus ke rumah sakit besok." gumamnya. Dia meraih HP, lalu mengetik SMS. Sebuah balasan segera datang, dan Changmin tersenyum.
----------
Changmin berdiri di depan sebuah SMA. Sudah sekitar 5 menit dia berdiri dan sedikit mondar-mandir. Beberapa anak SMA yang lewat berbisik-bisik sambil melirik (memandang sebenarnya) pada Changmin. Di mata mereka, Changmin adalah anak kuliahan yang keren. Mereka semua penasaran siapa yang ditunggunya.
Soojung dan teman-temannya berjalan melewati gerbang. Miyeon, salah seorang teman Soojung, melihat Changmin dan dia segera menarik Soojung.
"Soojung-a, bukankah dia kakak keren yang ada di rumahmu? Kenapa dia ada di sini?"
"Entahlah. Aku juga tidak tahu."
"Ya, bukankah kemarin kamu mengatakan perasaanmu padanya? Sepertinya dia menerimanya!"
Teman-teman Soojung menggodanya dengan suit-suit usil. Soojung, antara percaya dan tidak, tapi mukanya sudah memerah.
"Ayo, kita hampiri dia!" kata Miyeon. Mereka berlima akhirnya mendekati Changmin. Changmin malah tidak menyadari kehadiran mereka sebelum Soojung menyapanya.
"Oppa, sedang apa di sini?" tanya Soojung. Changmin terkesiap, lalu memandang Soojung.
"Soojung-a? Aaah, maaf, aku tidak sadar. Aku menunggu Jieun. Ah, bukankah kalian sekelas? Kenapa dia belum keluar?"Soojung, setelah mendengar nama Jieun lagi, senyumnya lenyap.
"Entahlah, mungkin dia sedang membersihkan kelas atau semacamnya." kata Soojung ketus. Teman-teman Soojung saling sikut. Miyeon lalu berkata, "Sepertinya aku tadi melihat Jieun dan Sanghyun di taman sekolah..."
Soojung menghela nafas kesal. "Oppa, kami pulang dulu. Annyeonghi gyeseyo!" Soojung menarik teman-temannya yang sepertinya masih ingin memandangi Changmin lebih lama. Lima gadis itu pergi ke halte bus. Changmin masih berdiri sambil memandangi gerbang. Tak lama kemudian, Jieun keluar. Bersama seorang pemuda. Yang kemarin ke rumah Jieun."Sepertinya aku tadi melihat Jieun dan Sanghyun di taman sekolah..."
Changmin baru menyadari apa yang dikatakan oleh teman Soojung tadi. Tanpa bisa ditahan, hatinya merasa kesal melihat mereka berdua berjalan ke arahnya sambil tertawa-tawa.
"Annyeong haseyo, oppa. Sudah lama?" sapa Jieun. Sanghyun juga segera menyapa Changmin. Changmin tersenyum dipaksakan.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Changmin.
"Iya. Ah, Sanghyun akan ikut dengan kita. Dia sedang ada tugas penelitian kemasyarakatan, dan dia merasa bahwa rumah sakit rehabilitasi jiwa adalah ide bagus."
"Geurae? Kalau begitu, ayo kita berangkat. Sanghyun-ssi, jangan kaget ya kalau ibuku pasien di sana!"
"Oppa bicara apa? Sooyoung ajumeoni di sana kan volunteer!" Jieun tampak kurang suka dengan cara bicara Changmin. Sanghyun menjadi tidak enak. Dalam perjalanan ke rumah sakit, mereka bertiga hanya diam. Jieun merasa aneh. Kenapa Changmin yang biasanya cerewet menjadi pendiam? Apa dia sedang badmood? Jieun tidak tahu, Sanghyun adalah penyebab semua itu.
"Eommoni!" seru Changmin sambil menghampiri ibunya. Sooyoung tersenyum lembut. Putra kecilnya itu telah tumbuh semakin tinggi. Di belakang Changmin, tampak Jieun tersenyum sambil membawa sekeranjang apel.
"Aigoo, Jieun-ssi, kamu tidak usah repot-repot!"
"Ah, tidak kok ajumeoni. Saya hanya membawakan oleh-oleh Changmin oppa."
Sanghyun berjalan-jalan di rumah sakit rehabilitasi jiwa itu. Tempat ini sepertinya cocok untuk penelitian kemasyarakatannya.
"Sedang mencari mangsa?" Changmin tiba-tiba muncul di belakangnya. Sanghyun sedikit kaget.
"Hahaha, saya hanya sedang mengamati hyung. Tempat ini bagus sekali. Apa ini milik swasta?"
"Ya, ini milik Yayasan Gyeoul Jangmi. Yayasan ini juga yang memberiku beasiswa.""Wah, menarik sekali! Apa hyung kenal dengan pengelolanya?""Tentu saja. Apa kau ingin mengadakan wawancara?" tanya Changmin. Sanghyun mengangguk antusias.
"Mengenai kau dan Jieun, apa..kalian....hanya teman?""Sebenarnya hyung, naega Jieun johahamnida..." kata Sanghyun malu-malu. Changmin tertegun.
"Apa yang kalian bicarakan?" Jieun menghampiri mereka.
"Ah, bukan apa-apa. Hanya tentang rumah sakit ini." kata Sanghyun cepat. Dia tidak ingin pembicaraan tadi didengar Jieun.
"Ooh. Oppa, apa oppa kenal dengan nenek itu?" Jieun menunjuk seorang nenek yang sedang duduk di bangku bersama seorang kakek. Si nenek menyandarkan kepalanya di bahu si kakek.
"Kenal. Itu Nyonya Bae, dan suaminya. Kenapa?"
"Mereka berdua romantis sekali. Siapa ya, pria yang akan bersamaku sampai tua nanti?" celetuk Jieun, terbawa suasana. Wajah Sanghyun memerah mendengar itu. Bibir Changmin bergetar.
"Bukankah kamu sudah berjanji untuk tinggal di istana bersamaku?" seru Changmin tanpa sadar. Jieun dan Sanghyun terbelalak memandang Changmin. Wajah Jieun memerah. Changmin menutup mulutnya.
------------
Yunho menggenggam tiket pesawat di tangannya. Matanya terpejam.