Sabtu, 04 Agustus 2012

Please Stop The Time

Konstelasi musim panas seperti akan terbang
Sampai mereka bergulir turun diantara gedung, jauh dari pandangan
Hari-hari melewati kita
Dan kadang hal kecil membuatmu ingin menangis

Senja semakin turun. Langit bertambah gelap dan menggelap. Aku mendongak. Serombongan burung terbang melewatiku, membawa keriuhan sesaat dengan cericit mereka. Aku terus mendongak. Aku menahan airmata yang mulai berdesakan supaya tidak mengalir.
"Hei, kalau kau memang ingin menyapaku, kenapa kau tidak datang sendiri, malah menitipkannya melalui burung-burung itu? Dasar bodoh." kataku lirih.
Langit sudah benar-benar gelap. Aku melihat Vega, altair dan Deneb di langit utara. Musim panas. Saat kami biasa berjalan di downtown dan mencari toko es krim.

Toko yang ingin kau kunjungi suatu hari nanti
sudah tidak ada lagi
Tapi kita tetap percaya
"Cinta kita takkan pernah berakhir"
"Aku ingin mencari syal yang bagus untuk musim dingin nanti. Apa kau tahu tempat yang murah tapi kualitasnya bagus? Aku ingin yang rajutan."Aku memukul lengannya pelan. Murah tapi kualitasnya bagus? Di downtown seperti ini? Mana ada.
"Seharusnya ada! Pusat kota itu pusatnya segala hal tahu!" dia ngotot. Aku tertawa.
"Kenapa kamu selalu menertawakan aku sih? Heran. Aku sama sekali tidak melucu!" dia cemberut. Aku tertawa semakin keras.
"Dengarkan aku! Berhenti tertawa! Kamu selalu membuatku terlihat bodoh." wajahnya mengeruh. Aku berusaha menghentikan tawaku. Dia serius ternyata.
"Hei, pemarah. Coba jawab aku. Apa aku pernah tertawa seperti saat bersama orang lain? Apa kau pernah melihatku tertawa seperti ini saat tidak bersamamu?"
Dia terdiam. Tapi wajahnya yang tadi tegang mulai mengendur. Aku mengacak rambutnya dengan sayang. Dia adalah hal berharga yang kumiliki di dunia ini.

Buat waktu berhenti, aku ingin bersamamu selalu
Aku mendongak, berharap pada langit
dan mengikuti setiap bintang yang bersinar
Mencarimu
Bukit ini masih sama seperti waktu-waktu yang lalu. Ketika kami berkemah di sini. Aku tidak pernah menyangka akan kembali kemari sendiri. Tidak pernah. Bahkan dalam mimpi-mimpiku yang selalu sepi dan kosong, dia akan datang entah darimana dan menemaniku dalam sepi dan kosong. Hembusan angin kali ini lebih dingin dari saat-saat itu. Musim panas yang sama. Aku masih bisa melihat Vega, Altair dan Deneb. Aku mencium bau rumput liar yang terinjak langkah serampanganku. Pohon dogwood kesukaannya sedang berbunga, sepertinya pohon itu ingin menyambut kebaikan hatinya. Kasihan pohon itu, tidak tahu aku datang sendiri. Aku menatap segitiga musim panas di langit dan mencari rasi Lyra kesukaannya. Leherku pegal, tapi aku tidak berhasil menemukan rasi itu. Kenapa? Padahal aku selalu bisa melihat itu saat bersama dengannya.

Aku tidak bisa berkata bahwa aku mencintaimu
dan bergetar di pantai, cinta kita saat muda
Mata kita terhenti, terkunci satu sama lain
dan aku merasa aku akan kehilangan sesuatu jika aku buta
Mengapa kami diipertemukan bila akhirnya kami tidak bisa bersama-sama? Kenapa tidak ada yang memperingatkanku bahwa waktu bisa memberikan hal-hal yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehku? Debur ombak yang biasanya kami nikmati bersama dengan senyum lebar, sekarang hanya menjadi suara ribut yang memberikan cipratan-cipratan asin di wajahku. Tanpa dia, pantai ini tak berarti lagi untukku. Dia yang menyukai pantai ini. Dia akan berlari kesana kemari, bermain dengan pasir, kayu, kepiting, kelapa, apapun yang dia temukan, dan melompati ombak yang meraih kakinya. Aku selalu hanya duduk di atas pasir, tersenyum melihatnya bermain dengan gembira. Saat dia sadar kalau aku memperhatikannya, dia akan melambai sambil tertawa. Dia akan berlari ke arahku, tersandung pasir, berdiri, kembali berlari, sambil membawa rumput laut, potongan kayu, atau apalah yang sedang dia mainkan untuk disodorkan kepadaku. Bibirku yang mengerucut akan dia sambut dengan mata lebarnya yang berbinar-binar.

Janji yang kita tulis di atas pasir
mungkin telah terhapus oleh ombak yang surut
tapi saat itu kita percaya
"Cinta kita takkan pernah berakhir"
Dia menulis sesuatu dengan potongan kayu yang ditemukannya saat menyusuri pantai. Aku menyipitkan mata, berusaha melihat apa yang ditulisnya. Mataku berkaca saat berhasl membaca tulisannya. Dia memang manusia lembut yang tidak bisa ditebak pikirannya. Dia bebas seperti angin. Dan entah kenapa dia suka sekali berpusar di sekitarku. Membuatku terbiasa dengan kehadirannya, bahkan membutuhkannya.
"Ayo kita pulang." dia sudah berdiri di sampingku.
"Sudah bosan bermain?"
"Aku lapar."
Dia menarik-narik tanganku. Aku berdiri, membersihkan pasir di celanaku.
"Kau akan memasakkan spageti untukku seperti biasanya kan? Jangan masukkan bawang bombay terlalu banyak! Tenggorokanku akan panas!"
Dia menggandeng tanganku dan memaksaku berjalan. Aku menoleh pada tulisan yang dia buat di pasir tadi. Bagian bawahnya sudah terjilat ombak. Tapi aku masih bisa membacanya.

Buat waktu berhenti, aku ingin bersamamu selalu
Aku ingin lebih menjagamu
Ketika aku mengingat setiap hal tentangmu
Aku hanya percaya pada keabadian
"Kau beda sekali. Pasti teman-temanmu itu akan terkejut. Bagaimana, kau mengakui kemampuanku kan sekarang?""Tentu saja tukang dandan pandai mendandani."Dia mendelik. Aku tertawa.
"Kita berangkat sekarang saja. Kalau lama-lama nanti keringatmu yang seperti banjir itu keburu datang."
Seperti biasa, dia duduk di depan kemudi. Aku duduk dengan tenang di kursi penumpang. Latar belakang yang berbeda membuatku tidak punya kompetensi untuk berurusan dengan benda beroda empat ini. Berbeda dengannya yang sudah akrab dengan benda ini bahkan sejak umurnya belum menginjak 17 tahun.
Perjalanan yang penuh canda kami lalui. Manusia, entah apakah karena memang telah tertakdirkan, atau karena kekurangannya sendiri, terkadang harus mengalami hal buruk yang lebih buruk dari sekedar mimpi buruk.
Seorang bocah tiba-tiba berlari ke tengah jalan, mengejar bola merahnya yang menggelinding. Dia, yang hatinya lembut, yang bertindak semaunya seperti angin, membanting setirnya ke arah kiri untuk menghindari bocah itu, dan untuk disambut oleh sebuah pohon tua. Suara derakan keras membuatku sesaat kehilangan kesadaran.
"Bangunlah. Ayo bangun." suaranya masuk ke dalam gendang telingaku. Aku membuka mata. Detik berikutnya aku menyesal membuka mataku. Darah mengalir di sebagian besar wajahnya. Tapi aku masih bisa melihat senyumnya yang lembut.
"Bang, aku mencintaimu. Ikhlas ya." dia meringis, tampak menahan sakit.
"Kamu bicara apa?" aku tersadar seratus persen, lalu mencoba membuka pintu. Tidak, aku tidak luka, aku sehat.
"Tolong! Toloong!" aku berseru-seru di pinggir jalan. Sebuah mobil berhenti.
"Tolong istri saya! Tolong!" tanpa menunggu jawaban aku berlari ke mobil yang ringsek. Orang-orang di mobil itu mengikutiku dengan tergesa.
"Ayo kita ke rumah sakit. Bangun. ayo bangun!" aku menyentuh tangannya dan terpaku. Ini bukan tangannya yang biasa. Dia sudah pergi.
Aku terduduk dan merasakan aliran air di pipiku.
"Bang, aku mencintaimu. Ikhlas ya."

Buat waktu berhenti, aku ingin bersamamu selalu
Aku mendongak, berharap pada langit
dan mengikuti setiap bintang yang bersinar
Mencarimu

Buat waktu berhenti, aku ingin bersamamu selalu
Aku ingin lebih menjagamu
Ketika aku mengingat setiap hal tentangmu
Aku hanya percaya pada keabadian



Hari-hari yang berulang itu kuanggap sebagai kebahagiaan yang sewajarnya.
Hari-hari yang terus berulangmeski terlihat seperti sesuatu yang sewajarnya tapi sebenarnya tidak begitu. "Keseharian" adalah suatu keajaiban yang berharga. Itu adalah saat-saat penuh kelembutan yang menghangatkan hatiku.
--Shiharu Nakamura--